JAKARTA – Pada sebuah diskusi yang penuh kontroversi di Hotel Dharmawangsa, Jakarta Selatan, Rabu (24/7), Kompartemen Hukum Pidana Fakultas Hukum menyerukan penundaan atas revisi Undang-Undang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Sejumlah akademisi dan praktisi hukum termasuk Gurubesar Hukum Universitas Al Azhar Indonesia, Prof Suparji Ahmad, mengemukakan pandangan-pandangan kritis terkait urgensi dan timing dari revisi yang diusulkan.
Prof Suparji Ahmad menekankan pentingnya memperbarui legislasi yang sudah berumur lebih dari dua dekade. “Revisi UU Polri merupakan sebuah keharusan dan keniscayaan mengingat sudah 20 tahun lebih dan banyak perkembangan hukum,” ujarnya. Beliau juga menambahkan, “Hukum telah berkembang pesat atas beberapa hal, seperti putusan MK, dinamika masyarakat, tantangan hukum, hingga adanya perkembangan informasi dan teknologi.” Suparji menilai bahwa perkembangan aspek-aspek tersebut harus tercermin dalam peraturan yang ada.
Dalam FGD yang diselenggarakan, ada kekhawatiran bahwa tanpa peninjauan yang komprehensif dan memadai, revisi undang-undang ini bisa jadi kurang menangkap esensi dari perubahan dan tantangan yang dihadapi oleh hukum dan penegakan hukum saat ini. Perubahan berkaitan dengan peran dan fungsi intelijen serta penyadapan yang dijalankan Polri juga mendapat sorotan khusus. Prof Suparji menegaskan, “peran dan fungsi Polri terkait intelijen dan penyadapan juga harus diperkuat melalui revisi undang-undang.”
Di sisi lain, Direktur Jenderal Hak Asasi Manusia, Dhahana Putra menyoroti urgensi revisi Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA). Dhahana dalam keterangannya mengatakan, “Usulan perubahan ini, dilakukan dengan tujuan untuk mencapai perdamaian antara korban dan pelaku anak, menyelesaikan perkara anak di luar proses peradilan, dan menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan.” Ia juga menambahkan bahwa revisi ini bertujuan “agar pendekatan restorative justice kepada ABH ini dapat berjalan dengan efektif“, sebagaimana pendekatan demikian secara formil baru diatur melalui UU No. 11 Tahun 2012.
Pada saat yang bersamaan, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tengah mengkaji untuk membawa Revisi UU Kepolisian ke dalam program legislasi nasional Prioritas tahun 2022 atau 2023. Dalam perkembangannya, Wakil Ketua Komisi III DPR, Desmond J Mahesa mengungkap bahwa, “Jadi kita akan melakukan FGD-FGD yang berkaitan dengan apa-apa yang hari ini dirasakan masyarakat kurang (dari Polri).” Ada harapan bahwa melalui FGD, bisa didapatkan masukan yang menentukan bagi perbaikan regulasi dan kinerja Polri kedepannya.
Proses revisi UU Polri dan UU SPPA merupakan fenomena yang mencerminkan dinamika hukum di Indonesia yang terus berkembang sangat dinamis. Hal ini tidak hanya mengenai peningkatan regulasi tetapi juga memperkuat legislasi Polri dan menciptakan kebijakan yang berorientasi pada restorative justice, serta mempromosikan partisipasi masyarakat dalam hukum dan peningkatan regulasi sistem peradilan anak. Namun, urgensi dan timing dari revisi tersebut masih menjadi perdebatan yang mendalam di kalangan pembuat kebijakan dan praktisi hukum, seperti yang terlihat dalam kegiatan FGD yang diinisiasi oleh Komisi III DPR dan bagian dari komitmen mereka untuk reformasi kinerja Polri.