TANJUNG SELOR – Sebagai badan publik selain bertugas sebagai pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat, Polri juga harus mampu menjamin kenyamanan bagi masyarakat dalam menjalankan aktivitasnya, baik dalam memberi maupun menerima informasi. Polri terus melakukan upaya perbaikan kinerja melalui program profesional, modern, dan terpercaya (Promoter) guna meraih kepercayaan publik.
Bidang Humas memiliki peran sentral dalam dalam hal manajemen media. Karena Humas merupakan garda terdepan dan ujung tombak untuk membangun opini publik terhadap kinerja Polri. Sehingga Divisi Humas Polri menggelar Diskusi Penyelesaian Sengketa Informasi dengan menggandeng Komisi Informasi Kaltara (KIP) di Polda Kaltara, Rabu 8 Juli 2020.
Hadir dalam kegiatan tersebut, pejabat dari Divhumas Polri yang dipimpin Kabag Anev Divhumas Polri Kombes Pol Drs. Sugeng Hadi Sutrisno, bersama Kombes Pol. Tjahyono Saputro, Penata TK. I Febriani Purwoastuti S.E., M.M., Penda TK. I Saefuloh, S.H., Penda Wahyu Hidayat.
Selain itu, hadir Juga Kapolda Kaltara Irjen Pol. Drs. Indrajit SH, Wakapolda Kaltara, sejumlah PJU, dan peserta yang berasal dari Bid Humas Polda Kaltara, pejabat PID Satker jajaran Polda Kaltara, Kabag Ops dan Kasubbag Humas Polres jajaran.
Dalam sambutan Kadiv Humas Polri Irjen Pol. Raden Prabowo Argo Yuwono, S.I.K., M.Si yang dibacakan Kombes Pol Drs. Sugeng Hadi Sutrisno, Undang-Undang Nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP), telah mengamanatkan badan publik termasuk Polri untuk memberikan layanan informasi. Antara lain menyediakan, memberikan, menerbitkan informasi publik yang berada dibawah kewenangannya. Baik secara berkala, serta merta, maupun setiap saat kepada masyarakat ataupun badan hukum yang membutuhkan informasi dengan prinsip mudah, cepat dan murah.
Apabila tidak dapat memberikan layanan informasi yang tepat, maka akan berakibat pada terjadinya sengketa informasi. “Pelayanan informasi ini tentu harus diselenggarakan secara sungguh–sungguh, dan diperlukan uji konsekuensi informasi yang dikecualikan secara benar,” terangnya.
Di dalam Pasal 17 Undang-Undang KIP diatur mengenai informasi yang dikecualikan, yaitu informasi yang tidak bisa dibuka atau diakses oleh publik atau masyarakat. Pengecualian informasi ini juga harus sudah melalui proses mekanisme uji konsekuensi terhadap informasi yang dikecualikan dan kemudian ditetapkan dalam sebuah surat penetapan hasil uji konsekuensi terhadap informasi yang dikecualikan.
Uji konsekuensi ini wajib dilaksanakan oleh Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID). Hasil uji konsekuensi terhadap informasi yang dikecualikan ini bertujuan untuk melindungi dokumen yang bersifat rahasia dan bukan untuk konsumsi publik. Polri sebagai badan publik yang mempunyai kewajiban memberikan informasi, Polri juga mempunyai hak menolak memberikan informasi yang sifatnya dikecualikan sesuai dengan pasal 17 UU Nomor 14 tahun 2008.
Pengertian informasi yang dikecualikan sesuai dengan pasal 17 UU No 14 Tahun 2008, di antaranya, pertama; informasi yang apabila dibuka dan diberikan kepada pemohon informasi publik dapat menghambat proses penegakkan hukum. Kedua; informasi publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada pemohon informasi publik dapat mengganggu kepentingan perlindungan hak atas kekayaan intelektual dan perlindungan dari persaingan usaha tidak sehat. Ketiga; informasi publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada pemohon informasi publik dapat membahayakan pertahanan dan keamanan negara.
Kemudian dalam pasal 22 Undang-Undang Nomor 14 tahun 2008 diatur tentang mekanisme memperoleh informasi. Apabila ada permohonan informasi, maka kewajiban kita sebagai badan publik wajib memberikan jawaban kepada pemohon informasi tersebut dalam waktu 10 hari kerja. Apabila dalam waktu 10 hari kerja informasi tersebut belum bisa diberikan, maka kita wajib membuat surat kepada pemohon informasi untuk dapat diperpanjang selama 7 hari kerja.
“Perlu diingat bahwa membiarkan atau tidak menjawab memberikan informasi sama halnya dengan menolak memberikan informasi. Apabila dalam jangka waktu 17 hari kerja pemohon informasi belum mendapat informasi yang diminta, maka pemohon informasi dapat mengajukan keberatan kepada atasan PPID,” tegasnya.
Dalam jangka waktu 30 hari hari kerja, instansi tersebut wajib menyelesaikan sengketa informasi tersebut. Apabila dalam jangka waktu 30 hari kerja belum juga ada penyelesaian, maka pemohon informasi dalam waktu 14 hari kerja dapat mengajukan gugatan sengketa informasi ke Mahkamah Komisi Informasi dan ke PTUN. Apabila ada permohonan informasi dan dalam jangka waktu 17 hari kerja dan setelah melewati proses sengketa informasi, baik di tingkat atasan PPID, di Mahkamah Komisi Informasi, di tingkat PTUN tidak dapat memenuhi informasi yang diminta, maka badan publik dapat dikenakan sanksi pidana dengan ancaman hukuman penjara selama 1 tahun dan denda Rp 5 juta sesuai pasal 51 UU KIP.